Jakarta, togoenlutte.org Indonesia – Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan dilanda bencana besar dari tahun ke tahun. Bencana tersebut membuat Indonesia harus menanggung kerugian triliunan.
Indonesia juga dilintasi oleh berbagai gunung api aktif atau dapat disebut sebagai ‘Ring of Fire’. Posisi tersebut menjadi salah satu alasan mengapa Indonesia begitu rawan dilanda bencana.
Dikutip dari laman National Oceanic and Atmospheric Administration United State, Ring of Fire atau Cincin Api adalah area di Samudra Pasifik yang memiliki lebih dari 450 gunung berapi aktif. Area ini membentang dari Selandia Baru, Jepang, melintasi Selat Bering, melalui pantai Barat Amerika Serikat dan berakhir di ujung Amerika Selatan.
Indonesia mendapat julukan “Ring of Fire” karena posisinya berada di Cincin atau Lingkar Api Pasifik. Wilayah ini membentang sepanjang 40.000 km di sekitar Samudra Pasifik yang sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung api.
Wilayah tersebut dikenal sebagai jalur gempa teraktif di dunia yang terdiri dari palung samudra, busur vulkanik, dan sabuk vulkanik. Semuanya terletak saling berdekatan satu sama lain.
Karena terletak di jalur tersebut, Indonesia mengalami banyak gempa dan letusan gunung api. Terlebih posisinya berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yaitu Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara, dan Lempeng Pasifik di timur.
Tak hanya itu saja, bencana yang melanda Indonesia tak hanya dari faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api. Tetapi juga sering dilanda oleh banjir, angin puting beliung, tanah longsor, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Adapun banjir, tanah longsor, dan karhutla lebih sering diakibatkan oleh perilaku manusia yang melakukan pembukaan lahan. Banjir dan tanah longsor terjadi akibat intensitas hujan tinggi disertai kurangnya daerah resapan di dataran tinggi karena masifnya pembukaan lahan. Begitu juga karhutla, di mana pembukaan lahan yang masif dengan cara membakar lahan juga menyebabkan bencana ini.
Kejadian bencana alam di Indonesia memiliki intensitas yang tinggi dan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta potensi risiko pembiayaan bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir saja, terjadi peningkatan kejadian bencana alam. Peningkatan kejadian bencana alam di Indonesia dengan keterjadian terbanyak yaitu banjir, tanah longsor, dan puting beliung
Adapun selama 15 tahun terakhir, rata-rata kerugian per tahun akibat bencana alam mencapai Rp 22,85 triliun atau hampir Rp 23 triliun.
Bencana penyumbang kerugian secara finansial terbesar adalah gempa bumi, tsunami, letusan gunung api (erupsi), kebakaran, dan banjir. Gempa dan tsunami Aceh yang melanda 2004 silam menyebabkan kerugian yang besar yakni mencapai Rp 51,4 triliun
Kerugian Akibat Bencana Terbesar di Indonesia
Potensi risiko fiskal yang bersumber dari bencana alam adalah kerugian finansial yang diakibatkan bencana alam melebihi anggaran bencana yang sudah dialokasikan di APBN.
Dalam rangka memitigasi risiko bencana alam, pemerintah menyediakan alokasi dana cadangan penanggulangan bencana di APBN. Rata-rata realisasi dana cadangan penanggulangan bencana pada APBN dalam periode tahun 2013-2023 adalah sekitar Rp 4,03 triliun per tahun.
Ancaman Gempa Megathrust di Indonesia
Potensi Indonesia yang akan dilanda gempa besar atau megathrust tentunya membuat masyarakat semakin khawatir karena potensinya cukup besar dan tentunya dapat membebani APBN.
Gempa megathrust adalah gempa bumi yang sangat besar yang terjadi di zona subduksi, wilayah tempat salah satu lempeng tektonik bumi terdorong di bawah lempeng lainnya.
Kedua lempeng biasanya terus bergerak mendekati satu sama lain, tetapi menjadi “terjebak” di tempat mereka bersentuhan. Akhirnya, penumpukan regangan melebihi gesekan antara kedua lempeng dan gempa megathrust yang besar terjadi.
Wilayah Megathrust yang Berpotensi Mengancam RI
Kekhawatiran masyarakat Indonesia akan potensi gempa megathrust terjadi setelah gempa megathrust yang melanda Nankai, Jepang dengan kekuatan M 7,1 pada Kamis (8/8/2024) lalu.
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami Badan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Daryono sempat mengatakan kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai sama persis dengan yang dirasakan ilmuwan Indonesia.
Khususnya yang perlu diwaspadai di Indonesia adalah Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M 8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M 8,9).
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata tinggal menunggu waktu karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” kata dia dalam keterangan resmi beberapa saat lalu.
Namun, Daryono mengklarifikasi soal penggunaan kalimat “tinggal menunggu waktu”. Dalam unggahan di akun X personalnya, Daryono menegaskan peringatan itu bukan berarti gempa Megathrust akan segera menimpa Indonesia.
“‘Tinggal menunggu waktu’ bukan berarti segera akan terjadi dalam waktu dekat, karena kejadian gempa memang belum dapat diprediksi,” kata dia, dikutip Rabu (15/8/2024).
“Kami pun tidak tahu kapan akan terjadi. Kami katakan ‘menunggu waktu’ karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah release (tinggal segmen tersebut yang blm lepas),” ia menambahkan.
Sebelumnya, Daryono juga mengatakan tidak perlu khawatir. Sebagai langkah antisipasi dan mitigasi, BMKG sudah menyiapkan sistem monitoring, processing, dan diseminasi informasi gempa dan peringatan dini tsunami yang makin cepat dan akurat.
Daryono mengatakan apa yang terjadi di Jepang dapat dipantau secara real time dan dianalisis dengan cepat.
BMKG, kata Daryono, bisa memodelkan tsunami yang bakal terjadi dan dampaknya menggunakan system InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System), sehingga BMKG akan segera menyebarluaskan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami di seluruh wilayah Indonesia, khususnya wilayah Indonesia bagian utara.