Jakarta, togoenlutte.org Indonesia – Bencana alam di Indonesia, seperti gempa bumi dan tsunami Aceh 2004, tidak hanya meninggalkan dampak fisik, tetapi juga masalah psikologis bagi para penyintas. Salah satu dampaknya adalah peningkatan kebiasaan merokok sebagai bentuk pelarian dari stres dan trauma
Menurut laporan The Conversation bersama akademisi di edisi khusus bertema 20 Tahun Pemulihan Aceh sepanjang Desember 2024, sebanyak 90% dari 20 studi terkait menemukan stres berkaitan dengan peningkatan kebiasaan merokok, yang dapat bertahan hingga tiga tahun setelah bencana.
Di Aceh, tekanan pascabencana terutama memengaruhi pria dewasa, dengan kebiasaan merokok sering ditemukan di lokasi pengungsian. Aktivitas ini tidak hanya membahayakan kesehatan perokok, tetapi juga berisiko menciptakan perokok baru dan memperburuk kondisi kesehatan masyarakat.
Padahal, angka kematian akibat merokok jauh lebih besar dibandingkan bencana alam. Rokok menyebabkan lebih dari 200 ribu kematian setiap tahun. Sementara itu, bencana alam di Indonesia menewaskan total 1.131 jiwa sejak 2016 hingga 2023.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu menerapkan tiga langkah strategis berikut, dikutip dari The Conversation, Sabtu (7/12/2024):
1. Menetapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Lokasi Pengungsian
Lokasi pengungsian harus ditetapkan sebagai area bebas rokok untuk melindungi kelompok rentan, seperti anak-anak dan ibu hamil, dari paparan asap rokok. KTR adalah area di mana merokok, menjual, atau mempromosikan produk tembakau dilarang.
Pengelola pengungsian dapat menyediakan tempat khusus merokok di luar kawasan utama dan mensosialisasikan aturan ini melalui edukasi kepada penyintas.
Langkah ini tidak hanya mengurangi dampak negatif rokok terhadap kesehatan, tetapi juga mencegah munculnya perokok baru di lokasi pengungsian.
2. Memperketat Kebijakan Pengendalian Tembakau
Selain KTR, pemerintah perlu menerapkan kebijakan pengendalian tembakau yang lebih komprehensif untuk mengurangi akses terhadap produk rokok.
Hal ini bisa dilakukan dengan melarang distribusi rokok dalam bantuan bencana guna mencegah penyalahgunaan situasi oleh industri tembakau. Pemerintah juga bisa pajak tembakau dan memperketat larangan iklan rokok, terutama di wilayah terdampak bencana.
Pendekatan ini dinilai dapat mengurangi jumlah perokok pascabencana sekaligus memperkuat citra pemerintah dalam melindungi masyarakat dari bahaya rokok.
3. Menyediakan Layanan Kesehatan Mental bagi Penyintas
Gangguan psikologis seperti stres dan trauma adalah akar masalah yang mendorong kebiasaan merokok pascabencana.
Pemerintah perlu menyediakan layanan konseling di lokasi pengungsian, baik oleh psikolog profesional maupun tenaga terlatih.
Pelatihan keterampilan bagi penyintas juga penting untuk membantu mereka mengalihkan fokus dari trauma yang dialami.
Program kesehatan mental ini harus dimasukkan dalam rencana mitigasi bencana agar para penyintas mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan secara menyeluruh.