Penghujung tahun 2024 yang mengantarkan awal tahun 2025, perhatian publik khususnya para pihak sektor kehutanan sedang digegap gempitakan oleh pernyataan Menteri Kehutanan RI yang menjelaskan bahwa Pemerintah mengidentifikasi 20 juta Ha lahan hutan cadangan untuk dimanfaatkan sebagai cadangan pangan, energi dan air. Selanjutnya pernyataan tersebut dihubung kaitkan pula dengan pernyataan Presiden RI terkait potensi Sawit dimana disarankan untuk ke depan harus tambah tanam sawit, tak usah takut membahayakan dan deforestasi. Pernyataan-pernyataan yang terkesan tidak utuh tersebut memicu polemik dan apresiasi negatif publik terhadap Pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan.

Ekspektasi publik yang besar untuk pengelolaan hutan yang lebih baik dan mimpi besar terhadap realisasi Asta Cita diawal terbentuknya Kementerian Kehutanan terasa dilukai oleh pernyataan yang terkesan kurang bijak dalam memahami dukungan Kehutanan terhadap swasembada pangan dan energi sesuai amanah Asta Cita. Ibarat pepatah nasehat orang melayu “jangan mengharap hujan dilangit, air ditempayan ditumpahkan”. Jauh sebelum Asta Cita khususnya untuk Swasembada Pangan dan Energi dicanangkan, hutan maupun kawasan hutan telah menoreh sejarah gemilang menjadi penyangga kebutuhan pangan dan energy melalui praktek Agroforestri (Tumpang sari, wanatani, paludikultur, Parak, dll) dengan prinsip kolaborasi bukan deforestasi. Hutan dan kehutanan dapat dipandang sebagai marwah bangsa yang harus dijaga kehormatannya. Berbagai komitmen dan kesepakatan Internasional juga telah disepakati oleh Indonesia seperti Paris Agreement, COP dan lainnya untuk dijalankan dengan penuh komitmen dan dedikasi tinggi sebagai reputasi Republik Indonesia khususnya komitmen mencegah deforestasi. Selayaknya Hutan cadangan seluas 20 juta Ha berpotensi dikolaborasikan untuk swasembada pangan dan energi namun bukan dengan pendekatan deforestasi. Kementerian Kehutanan harus memberikan penjelasan yang utuh dan bijak terkait polemik yang muncul di media publik.

Baca Juga : Sumbangan Keanekaragaman Hayati Hutan Indonesia untuk Industri Kecantikan Berkelanjutan, Ada Zat Penyembuh Luka dari Pohon

Untuk mewujudkan swasembada pangan dan energi tidak harus melakukan deforestasi apa lagi pelepasan kawasan hutan. Kelemahan terminologi pada UU RI Nomor 41 Tahun 1999 terkait hutan dan kawasan hutan berdampak pada praktek di lapangan bahwa tidak semua kawasan hutan yang tutupan lahannya adalah hutan. Hal ini akan sangat beresiko pada kesimbangan alam dan daya dukung lingkungan hidup jika dasar rujukan hanya luasan kawasan hutan berdasarkan data di peta semata, karena faktanya banyak kawasan hutan di peta yang tutupan lahan sudah tidak hutan, tapi sudah berubah menjadi pemukiman, perkantoran, perkebunan, pertambangan liar, tambak dan lain. Dengan demikian jika untuk mewujudkan swasembada pangan dan energy dilakukan dengan cara deforestasi, hal tersebut akan berpotensi besar menjemput “kiamat ekologis” karena akan meguras hutan yang tersisa khususnya hutan alam.

Harus disadari akurasi data dan fakta terkait luasan hutan di Indonesia harus wajib dibenahi. Perlahan upaya tersebut telah dilakukan namun belum optimal. Pengalaman menunjukkan alokasi kawasan hutan untuk Perhutanan Sosial sebesar 12,7 Juta Ha yang dicanangkan pada masa Pemerintahan Jokowi tahun 2016, sampai saat ini masih sulit diwujudkan, salah satunya adalah kawasan hutan yang dimaksud telah terjadi perubahan penguasan dan fungsi kawasannya. Artinya realita di lapangan tak seutuhnya sama dengan pendataan pada peta dan rekapitulasi data. Maka wajar muncul pertanyaan publik, apakan masih ada 20 Juta Ha lahan Hutan Cadangan tersebut. Ketidak selarasan data dengan fakta terkait hutan tersebut berdampak besar pada kekeliruan kebijakan bahkan menimbulkan ketidak seimbangan alam dan lingkungan hidup. Percepatan realisasi 12,7 juta Ha Perhutanan Sosial merupakan suatu bentuk dukungan nyata dan strategis dari Kementerian Kehutanan terhadap Swasembada Pangan dan Energi. Perhutanan Sosial juga telah menjadi program prioritas Kementerian Kehutanan.

Keterbatasan luasan hutan yang di sisi lain terjadi peningkatkan kebutuhan atas hasil hutan (pangan, energy, kayu serat, HHBK, dll) dan fasilitasi fungsi hutan (Konservasi, Lindung, Masyarakat Hukum Adat, jasa lingkungan, dll) mengharuskan pergeseran paradigma pengelolaan hutan yang berbasis kawasan ke arah Produktifitas dan kolaborasi. Beberapa langkah strategis dan prioritas yang harus dilakukan oleh Kementerian Kehutanan sebagai pemegang mandat rakyat untuk mengelola hutan dalam mewujudkan Asta Cita dan amanah konstitusi UUD 1945 antara lain:

  1. Pentaatan pemanfaat ruang sesuai fungsi dan alokasi kawasan hutan

Pengaturan tata ruang kawasan hutan dan alokasi fungsi kawasan hutan harus disusun berdasarkan kajian ilmiah yang akuntable. Alokasi dan pengelolaan ruang kawasan hutan harus sesuai fungsinya yaitu Hutan Lindung, Hutan Konservasi dan Hutan Produksi serta fasilitasi kedaulatan Masyarakat Hukum Adat melalui wilayah hutan adatnya. Hal ini sangat penting untuk keseimbangan pemanfaatan ruang menjaga kesimbangan ekosistem dan kelestarian serta meminimalisir polemik status dan fungsi kawasan. Kementerian kehutanan harus memastikan ketaatan para pihak dalam mengelola kawasan hutan dan hutan sesuai alokasi ruang dan fungsinya. Dengan demikian, alokasi lahan untuk dukungan swasembada pangan dan energy akan lebih terarah dan seimbang.

  1. Intensifikasi pengelolaan hutan dalam peningkatan produktifitas hutan.

Kawasan hutan yang semakin berkurang dan produktifitas hutan yang belum optimal, namun kebutuhan dari produk hasil hutan terus meningkat. Oleh karena itu, pengelolaan hutan tidak boleh lagi semata berorintasi pada luasan kawasan hutan namun harus fokus berorientasi pada produktifitas melalui pendekatan intensifikasi kehutanan melalui Teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Kehutanan bukan semata kawasan hutan, namun yang lebih utama adalah tutupan kawasan hutan yang harus tetap hutan dengan produktifitas yang optimal. Penelitian dan pengembangan harus optimalkan untuk memberikan dukungan pengelolaan hutan yang intensif dan prospektif.

  1. Kolaborasi Pemanfaatan Kawasan Hutan melalui Agroforesti

Secara konseptul dan praktek faktual, hutan tidak tumbuh dan berkembang untuk tujuan dan fungsi tunggal. Hutan telah berkontribusi besar dalam penyediaan pangan dan energy untuk masyarakat dan negeri ini melaui praktek Agroforestri yang masing-masing daerah dengan penamaan yang berbeda-beda. Agroforestri memberikan dukungan fasilitasi berbagai fungsi dan produk hasil hutan dalam konsep kolaborasi, berbagi ruang dalam waktu yang bersamaan. Dalam keterbatasan lahan untuk mendukung swasembada pangan dan energi maka penerapan praktek Agroforestri harus pula secara intensif yaitu menggunakan bibit yang unggul hasil pemuliaan tanaman, manipulasi lingkungan dan pengendalian hama penyakit. Pemenuhan pangan bukan hanya pangan nabati, namun juga pangan hewani yang bisa difasilitasi melalui Silvoparture dan Silvifisheri. Tanaman penghasil kayu energy dan bahan energy juga perlu dintensifkan baik dalam pemilihan jenis maupun tumbuh kembangnya. Dengan demikian fasilitasi hutan sebagai penyangga pangan dan energy dapat optimal dikontribusikan tanpa harus mengorban hutan atau mengubah/pelepasan status kawasan hutan.

  1. Sinergitas dan kolaborasi para pihak dalam pengelolaan hutan.

Pengelolaan hutan harus berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang seiring perkembangan zaman. Kerjasama dan hubungan mutualisme antara Kementerian Kehutanan dan Akadermisi, Masyarakat, NGO dan Kelompok usaha memiliki peran strategis. Kementerian Kehutanan harus membuka ruang komunikasi dan diskusi yang setara untuk menerima saran, pandangan bahkan kritik yang membangun dari semua pihak tidak terbatas pada pihak atau kelompok tertentu saja.

Kementerian Kehutanan juga harus membuka diri untuk berkolaborasi dengan sektor lain dalam pemanfaatkan ruang kawasan dengan tetap menjaga asas kelestarian. Pemanfaatan ruang kawasan hutan tersebut seperti untuk produksi bahan pangan dalam upaya swasembada pangan, pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman energi dalam upaya swasembada energy, jasa lingkungan hutan untuk penurunan emisi karbon, adaptasi perubahan iklim dan kenyamanan lingkungan serta sektor lainnya.

Kolaborasi pemanfaatan kawasan hutan ini bisa disinergiskan dengan penerapan Agroforestri dalam pengelolaan hutan. Multi usaha kehutanan dan perhutanan sosial melalui penerapan agroforestry memfasilitasi perwujudan swasembada pangan, pembangunan pedesaan, UMKM, pengentasan kemiskinan sehingga mendorong pemerataan kesejahteraan masyarakat.

  1. Penguatan rasa kebangsaan dan jiwa nasionalisme pengelolaan hutan.

Hutan dan sumberdaya alam Indonesia sudah sejak lama menjadi incaran para penjajah. Penjajahan gaya baru saat ini terjadi dalam bentuk politik internasional dan strategi perdagangan internasional. Pelemahan produk hutan dan SDA Indonesia melalui berbagai isu dan kampanye negatif merupakan bagian dari upaya asing untuk mendikte dan membuat bangsa Indonesia yang menguasai hajat hidup dunia menjadi tak berdaya. Persaingan dagang hasil hutan harus dihadapi dengan pengelolaan hutan yang bijak dan lestari serta tata hubungan politik ekonomi internasional yang bermartabat. Sosialisasi dan edukasi kerja baik pengelolaan hutan harus dimasifkan untuk menangkal pemahaman publik dari gempuran kampanye negatif pengelolaan hutan Indonesia.

Untuk mendukung keunggulan komparatif Bangsa Indonesia dalam pengelolaan hutan diperlukan upaya hilirisasi produk dan penguatan pasar hasil hutan. Hilirisasi produk dan penguatan pasar hasil hutan dibutuhkan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi dan produk unggulan harus digesa untuk mengalihkan keuntungan yang selama ini dinikmati oleh asing dan berbagai rantai produksinya untuk dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Pengelolaan hutan lindung dan konservasi yang semakin, bijak, kreatif dan intensif serta industri kehutanan yang prospektif akan membawa kehutanan ke masa depan yang sangat cerah.

Harus dipahami bersama bahwa upaya mewujudkan swasembada pangan dan energy adalah tanggung jawab bersama segenap bangsa. Semua pihak harus berkontribusi optimal yang proporsional yang tentunya tanpa mengorbankan fungsi dan kepentingan yang lainya demi keselamatan umat manusia dan alam. Hutan hakikatnya berperan sebagai penyangga pangan dan energy, sehingga pengoptimalan kolaborasi intensif dan sinergitas adalah langkah strategis dukungannya bukan malah upaya swasembada pangan dan energy dijadikan legalitas untuk deforestasi yang itu sangat merugikan rakyat dan reputasi bangsa Indonesia. “Tariklah rambut di dalam tepung, dimana rambut tak putus dan tepung tak tumpah berserak”.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *