Jakarta (ANTARA) - Perdebatan publik tentang tindakan mana yang lebih prioritas, antara cetak sawah baru dan optimasi sawah eksisting terus terjadi berulangkali, yang cenderung direproduksi tanpa henti.

Jakarta (ANTARA) – Perdebatan publik tentang tindakan mana yang lebih prioritas, antara cetak sawah baru dan optimasi sawah eksisting terus terjadi berulangkali, yang cenderung direproduksi tanpa henti.

Publik seperti digiring bahwa cetak sawah baru adalah tabu bagi pemerintah karena bukti yang ditunjukkan hanya kegagalan demi kegagalan di setiap rezim.

Faktanya Kementerian Pertanian juga melakukan dan fokus pada pelindungan dan optimasi lahan sawah yang eksisting.

Kementan, saat ini menjalankan kebijakan ekstensifikasi dan juga intensifikasi secara simultan demi meraih swasembada pangan.

Bagi kalangan yang berkecimpung di dunia pertanian, baik mahasiswa, praktisi, peneliti, dan pengambil kebijakan, sebetulnya upaya memenuhi kebutuhan pangan dengan cetak sawah baru atau optimasi sawah eksisting, bukanlah dua kutub yang harus saling berhadap-hadapan.

 

Keduanya merupakan dua jalur (dual track) yang tidak dapat dihindari untuk ditempuh bersamaan, seperti layaknya rel kereta yang berpasangan.

 

Kebijakan ekstensifikasi

Kebijakan cetak sawah juga selalu ditempatkan berhadap-hadapan dengan isu lingkungan (ekologis), seolah-olah membuka sawah baru selalu membuka hutan, sehingga merusak lingkungan. Padahal, terminologi “hutan” di Indonesia sangat bias. Saat ini, cetak sawah selalu dilakukan pada lahan yang berstatus areal penggunaan lain (APL).

Tutupan lahan yang terlihat hijau dari satelit, misalnya dengan analisis vegetasi index, boleh jadi secara hukum bukan “kawasan hutan”, serta sebaliknya tutupan lahan berupa kebun campuran, bahkan pemukiman sesungguhnya secara hukum merupakan “kawasan hutan”, sehingga harus hati-hati dalam menilai maupun mengomentari isu hutan.

 

Cetak sawah baru dikenal dalam dunia pertanian dengan sebutan ekstensifikasi pertanian. Jalur ini harus ditempuh karena laju konversi lahan di Indonesia dari lahan pertanian ke non-pertanian hampir mendekati 100.000 hektare per tahun. Jika tidak ditempuh, maka penciutan lahan pertanian semakin cepat, sehingga pada suatu saat tidak mampu lagi menopang kebutuhan pangan penduduknya yang justru semakin bertambah.

Berdasarkan data FAO, pada 2022, luas lahan pangan Indonesia adalah 0,2 hektare per kapita. Bandingkan dengan Amerika Serikat, China, dan Thailand yang memiliki lahan pangan berturut-turut 1,21 ha per kapita; 0,37 ha per kapita; dan 0,33 ha per kapita.

Dari luas lahan pangan per kapita tersebut, luas sawah di Indonesia hanya 0,026—0.031 hektare per kapita. Data ATR/BPN menyebutkan bahwa luas baku sawah tahun 2024 menurun 79 ribu hektare selama 5 tahun, yaitu dari sebelumnya sebesar 7,46 juta hektare (2019), menurun menjadi 7,38 juta hektare pada tahun 2024.

Sebetulnya upaya perlindungan lahan pertanian, terutama sawah, telah lama diupayakan dengan sejumlah regulasi. Sebut saja UU No.41/2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan.

Regulasi yang terbaru adalah UU No.6/2023 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Pada UU jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang mengalihfungsikan lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan budi daya pertanian, kecuali untuk kepentingan umum setelah dilakukan kajian strategis, disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik dan/atau disediakan lahan pengganti terhadap lahan budi daya pertanian.

 

Selanjutnya dalam Perpres 59/2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, strategi yang dilakukan Kementan untuk mengerem laju alih fungsi lahan pertanian. Pertama, pemutakhiran data spasial lahan sawah dilindungi (LSD) dan sinkronisasi serta integrasi ke dalam peta lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).

Kedua, pengendalian alih fungsi lahan sawah melalui penetapan ke dalam Peta KP2B/LP2B/LCP2B dan pola ruang RTRW provinsi/kabupaten/kota.

Ketiga, penguatan dalam pemberian insentif kepada pemerintah daerah melalui mekanisme insentif dengan Indikator perhitungan DAK atau DAU bagi kabupaten/kota menetapkan LP2B, serta keempat, pemberian insentif kepada petani melalui mekanisme insentif bantuan sarana pertanian yang telah menetapkan LP2B. Pada tahun 2024 terdapat 8 provinsi dan 151 kabupaten/kota yang sudah menetapkan LSD pada LP2B.

Kebijakan perlindungan lahan sawah terbaru dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN, dimana setelah ditetapkannya peta LSD, selanjutnya Kementerian ATR/BPN melaksanakan kegiatan pengawasan dan pengendalian melalui pemantauan dan evaluasi integrasi peta LSD menjadi bahan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW/RDTR.

Namun demikian, pelaksanaan kegiatan yang di level pemda sebagai benteng terdepan belum efektif karena sektor pertanian selalu kalah oleh kepentingan nonpertanian yang kerap bermodal besar. Penyusutan lahan pertanian pun terus terjadi.

 

Sekadar contoh pada 2025, Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, melalui Direktorat Penyediaan Lahan menjadi dirigen cetak sawah alias ekstensifikasi pertanian seluas 225.000 hektare yang tersebar di 20 provinsi di Papua, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sumatera. Saat ini kegiatan cetak sawah terus berprogres dengan target konstruksi cetak sawah yang siap eksekusi seluas 162 ribu hektare, terutama di Kalimantan Tengah, dengan target terbesar, yaitu 85 ribu hektare.

Berbagai strategi dan upaya percepatan cetak sawah yang dilakukan, meliputi percepatan kontrak konstruksi dan penyelesaian konstruksi di Kalimantan Tengah, percepatan pelaksanaan SID yang di lanjutkan dengan kontrak konstruksi masing masing seluas 15.000 di Kalsel, 5.000 di Sumsel dan 5.000 di Merauke, serta percepatan CPCL SID yang clean dan clear untuk 200.000 hektare SID.

Optimasi lahan

Jalur kedua, optimasi lahan (opla), juga wajib dilakukan. Pada 2025, Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, telah melakukan optimasi lahan alias intensifikasi pertanian seluas 500.000 hektare. Optimasi lahan dilakukan dengan meningkatkan indeks pertanaman dari sekali setahun menjadi dua kali setahun atau dari dua kali setahun menjadi tiga kali setahun.

Tentu, optimasi lahan juga dilakukan dengan pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan pascapanen.

Pada Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, tanggung jawab optimalisasi lahan tersebut dilakukan oleh Direktorat Pelindungan dan Optimasi Lahan.

Kegiatan opla, saat ini dilakukan di 20 provinsi, dengan target 500 ribu hektare, saat ini anggaran konstruksi OPLA 2025 yang sudah tersedia untuk eksekusi seluas 288 ribu hektare. Realisasi kontrak SID opla sudah mencapai sekitar 180 ribu hektare (44,1 persen) dan terus dipercepat, sehingga diharapkan SID dapat selesai pada akhir April 2025.

Beberapa upaya percepatan opla pun dilakukan. Bagi daerah yang sudah memiliki SID agar dilakukan percepatan kontrak konstruksi dan penyelesaian konstruksi.

Upaya juga dilakukan melalui percepatan pelaksanaan SID yang dilanjutkan dengan kontrak konstruksi serta percepatan CP/CL SID dengan segera melakukan kontrak SID dan dilanjutkan dengan kontrak konstruksi

Dari perbandingan angka kedua jalur kebijakan tersebut, jelas terlihat bahwa luas optimasi sawah eksisting hampir dua kali lipat dari luas cetak sawah.

Dengan kata lain, isu yang beredar di luaran yang menyebutkan Pemerintah Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka lebih mengutamakan cetak sawah dibanding optimasi sawah eksisting tidak benar, bahkan cenderung menyesatkan dan bernuansa politis. Fakta yang benar adalah kedua jalur tersebut ditempuh beriringan karena memang seyogyanya demikian.

Upaya mengadakan sawah baru dan merawat sawah eksisting memang wajib dilakukan karena sawah merupakan lahan paling seksi dalam khasanah dunia pertanian. Dalam kajian ilmu tanah, lahan sawah merupakan hasil karya agung manusia.

Sawah di lahan kering adalah hasil dari kreasi manusia mengubah lahan kering yang sangat porous menjadi lahan basah yang mampu menahan air secara artificial yang cocok untuk budi daya padi.

Sebaliknya, sawah di lahan rawa adalah kreasi manusia untuk mengubah lahan yang hampir sepanjang tahun tergenang menjadi sawah yang jumlah dan waktu tersedia airnya sesuai dengan kebutuhan padi. Proses tersebut, baik di lahan kering maupun lahan rawa, membutuhkan waktu yang panjang untuk menjadi sawah yang stabil, bukan hanya setahun dua tahun, tetapi belasan tahun, bahkan berabad-abad.

Kementerian Pertanian, di bawah komando Menteri Pertanian Dr Amran Sulaeman, telah memahami sawah sebagai karya agung peradaban manusia. Cetak sawah baru dilakukan untuk mengganti sawah yang menciut karena konversi lahan serta untuk warisan bagi anak cucu kelak, seperti nenek moyang dahulu mewariskan pada generasi sekarang.

Optimasi lahan dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan eksisting yang ada agar tidak mubazir. Dua jalur tersebut wajib ditempuh untuk memberi pangan penduduk Indonesia saat ini dan masa depan.

Kini saatnya semua komponen bangsa untuk kompak, bergandengan tangan dan saling bersinergi untuk memberikan dukungan dan aksi solutif mendukung suksesnya swasembada pangan nasional.

 

*) Husnain, PhD adalah Plt. Direktur Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, Kementerian Pertanian

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *