Dalam beberapa tahun terakhir, industri bioenergi semakin berkembang sebagai salah satu solusi energi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Salah satu produk unggulan dalam sektor ini adalah biomassa wood pellet, yang diproduksi dari limbah kayu dan bahan organik lainnya. Namun, di balik prospek cerah tersebut, muncul sejumlah isu dan anomali yang perlu diwaspadai, terutama terkait dampaknya terhadap keberlanjutan hutan dan ekosistem alam. Forest Watch, sebuah organisasi lingkungan yang aktif memantau kerusakan hutan, menyebutkan adanya indikasi bahwa hutan di Indonesia, khususnya di beberapa daerah, semakin banyak ditebang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku pembuatan biomassa wood pellet.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran karena proses produksi bioenergi, yang seharusnya menjadi alternatif energi bersih, berpotensi menyuburkan praktik penebangan liar dan deforestasi massif. Banyak perusahaan produsen biomass pellet mengklaim bahwa bahan baku mereka berasal dari limbah kayu atau pohon yang ditebang secara legal dan berkelanjutan. Namun, kenyataannya, tidak sedikit dari bahan baku tersebut berasal dari hutan yang ditebang secara ilegal atau tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Akibatnya, hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia, pengaturan iklim, dan habitat satwa liar, justru mengalami kerusakan yang cukup serius.
Forest Watch mengungkapkan bahwa sejumlah laporan dan temuan di lapangan menunjukkan bahwa praktik penebangan untuk bahan baku biomass pellet sering kali dilakukan tanpa izin resmi, bahkan di kawasan hutan lindung dan konservasi. Hal ini dilakukan karena tingginya permintaan pasar akan biomass wood pellet, yang dianggap sebagai energi alternatif dan ramah lingkungan. Sayangnya, kebutuhan yang meningkat ini justru mendorong praktik penebangan ilegal dan perambahan hutan secara masif, yang berimbas pada hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, dan perubahan iklim lokal.
Selain itu, proses pengolahan dan produksi biomass pellet juga menimbulkan kekhawatiran terkait emisi karbon dan dampak lingkungan lainnya. Banyak pabrik biomass yang beroperasi tanpa pengawasan ketat, sehingga limbah dan polusi yang dihasilkan tidak terkontrol dan merusak kualitas udara serta tanah di sekitar lokasi pabrik. Kerusakan lingkungan akibat kegiatan ini, jika tidak diatasi, akan memperberat beban ekologis dan mengancam keberlanjutan sumber daya alam di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah dan regulator di Indonesia diharapkan mampu mengawasi dan menegakkan aturan terkait penebangan dan penggunaan bahan baku biomassa. Pengembangan energi terbarukan memang penting, tetapi harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan dan tidak merusak lingkungan. Pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang memanfaatkan bahan baku dari hutan, serta memastikan bahwa seluruh kegiatan produksi bioenergi mengikuti standar lingkungan yang ketat.
Kesimpulannya, meskipun bioenergi dan biomass wood pellet menawarkan solusi energi bersih dan berkelanjutan, praktik penebangan hutan secara ilegal dan tidak berkelanjutan untuk memenuhi permintaan bahan baku harus diwaspadai. Forest Watch dan organisasi lingkungan lainnya menekankan perlunya pengawasan ketat, regulasi yang tegas, dan kesadaran dari semua pihak agar industri bioenergi tetap berjalan dengan prinsip keberlanjutan, menjaga ekosistem hutan, dan mendukung pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Hanya dengan demikian, energi hijau yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil tidak malah berkontribusi pada kerusakan lingkungan yang lebih luas.