Kebakaran hutan dan lahan di Riau selama beberapa tahun terakhir menjadi persoalan serius yang tidak hanya berdampak pada lingkungan dan ekosistem, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat setempat

Kebakaran hutan dan lahan di Riau selama beberapa tahun terakhir menjadi persoalan serius yang tidak hanya berdampak pada lingkungan dan ekosistem, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat setempat. Dalam konteks ini, para pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyoroti pentingnya memandang kebakaran dan pengelolaan lahan dari sudut pandang budaya dan kearifan lokal. Mereka menekankan bahwa memahami nilai luhur kesakralan api dan menerapkan sistem perladangan berputar dapat menjadi solusi yang berkelanjutan dalam mengatasi masalah ini.

Nilai Luhur Kesakralan Api
Menurut para pakar dari UGM, api tidak sekadar alat untuk memasak atau membakar lahan, melainkan memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam dalam masyarakat adat di Riau dan wilayah sekitarnya. Api dianggap sebagai simbol kekuatan, pembersihan, dan koneksi dengan alam serta roh leluhur. Dalam tradisi lokal, api diperlakukan dengan hormat dan memiliki aturan-aturan tertentu yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.

Mereka berpendapat bahwa ketidaktahuan atau pengabaian terhadap nilai sakral api seringkali menyebabkan praktik pembakaran yang sembrono dan berlebihan, sehingga memicu kebakaran hutan yang meluas. Oleh karena itu, edukasi dan pelestarian nilai budaya ini sangat penting agar masyarakat memahami bahwa api bukan sekadar alat, melainkan bagian dari sistem kepercayaan dan keberlanjutan lingkungan.

Sistem Perladangan Berputar
Selain aspek budaya, para pakar juga menyoroti pentingnya menerapkan sistem perladangan berputar (shifting cultivation) sebagai metode tradisional yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Sistem ini melibatkan rotasi penggunaan lahan, di mana petani menanam tanaman tertentu di satu area selama beberapa tahun, kemudian memindahkan kegiatan ke lahan lain setelah tanah tersebut mengalami masa istirahat dan pemulihan.

Praktik ini membantu menjaga kesuburan tanah, mengurangi risiko kebakaran yang disebabkan oleh pembakaran lahan secara serampangan, dan meminimalkan deforestasi besar-besaran. Sistem perladangan berputar juga memungkinkan ekosistem alam tetap terjaga, serta mendukung keberlangsungan kehidupan masyarakat adat yang telah mengembangkan sistem ini selama berabad-abad.

Implementasi dan Tantangan
Meskipun sistem perladangan berputar memiliki banyak manfaat, penerapannya di masa modern menghadapi tantangan, seperti tekanan ekonomi, modernisasi, dan kebijakan yang cenderung meminggirkan praktik tradisional. Banyak masyarakat dan pemerintah lebih memilih metode konvensional yang lebih cepat dan intensif dalam membuka lahan, tanpa memperhatikan keberlanjutan jangka panjang.

Oleh karena itu, para pakar dari UGM menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai budaya dan pengetahuan lokal ke dalam kebijakan pengelolaan lahan dan restorasi ekosistem. Pendekatan ini diyakini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, mengurangi praktik pembakaran liar, dan membangun harmoni antara manusia dan alam di Riau.

Kesimpulan
Kebakaran hutan dan lahan di Riau bukan hanya masalah teknis atau administratif semata, melainkan juga menyentuh aspek budaya dan sistem kepercayaan masyarakat. Dengan menekankan nilai luhur kesakralan api dan menerapkan sistem perladangan berputar yang berkelanjutan, diharapkan pengelolaan lahan dapat dilakukan secara lebih arif dan berwawasan lingkungan. Upaya ini tidak hanya melindungi ekosistem, tetapi juga mempertahankan identitas budaya lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Riau dan Indonesia secara umum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *