Menjelang peringatan 20 tahun tsunami Aceh, para penyintas dan masyarakat terdampak mengenang keluarga dan kerabatnya yang menjadi korban. Namun di sisi lain mereka dituntut untuk selalu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana serupa di masa depan.
Suara pecahan ombak di bibir pantai Ulee Lheue, Banda Aceh, terdengar lirih saat kami bertemu dua perempuan penyintas tsunami Aceh 2004.
Terdengar pula samar-samar deru mesin perahu nelayan yang sesekali melintas saat air surut.
Namun tangisan sesenggukan Safiatuddin alias Mak Dek (56 tahun) dan Agustina Dewi (47 tahun) justru yang lebih sering kami dengar di pagi itu.
“Saya teringat terus, saya tidak bisa melupakannya,” kata Mak Dek kepada saya dan videografer Dwiki Marta, Rabu, 13 November 2024 lalu.
Suaranya terdengar parau.
Kami bertemu keduanya di warung kopi dan mie milik Mak Dek. Mereka tengah mengobrol. Ada dua atau tiga perempuan lainnya kemudian bergabung.
Mak Dek dan Dewi adalah warga gampong (setingkat desa) Ulee Lheue. Letaknya persis di tepi laut.
Desa ini merupakan salah-satu yang rusak parah akibat tsunami 26 Desember 2004. Jumlah penduduknya jauh berkurang setelah bencana itu.
Di Kota Banda Aceh dan kota-kota pesisir barat, lebih dari 160.000 orang—hampir 5% dari jumlah penduduk keseluruhan—tewas dihempas tsunami setinggi hingga 35 meter.
Tsunami raksasa itu dipicu gempa bumi berkekuatan magnitudo 9,3. Ini adalah tsunami paling mematikan dalam catatan sejarah.
Kini, 20 tahun kemudian, pikiran Mak Dek tidak sepenuhnya dapat beranjak dari bencana dahsyat itu.
Dia kehilangan ibu, suami dan dua anaknya yang masih kecil. Jasadnya tidak pernah ditemukan.
Ibunya terseret arus saat Mak Dek berusaha menyelamatkannya di dalam sebuah masjid.
“Saya selalu teringat mamak. Kalau mau ke masjid, rasanya saya tidak bisa,” Mak Dek terisak.
Masjid yang dimaksud Mak Dek adalah Masjid Baiturrahim. Lokasinya tak jauh dari lokasi kami bertemu.
Saat gelombang tsunami menerjang pada hari Minggu pagi itu, sebagian warga—termasuk Mak Dek—menyelamatkan diri masuk ke dalam masjid itu.
Walaupun rusak di sana-sini akibat terjangan gelombang air laut, bangunan masjid itu masih berdiri kokoh.
Di belakang masjid itulah, Mak Dek—panggilan akrab Safiatuddin—dulu tinggal bersama suami, dua anak, serta ibunya.
Keluarga Mak Dek dan orang-orang yang tinggal di Ulee Lheue memang amat akrab dengan masjid itu.
Sebagian warga beribadah atau bertemu untuk sebuah acara di sana. Dan ketika bencana itu datang, mereka berharap pula kepadanya.
‘Air naik, air naik…’
“Air naik, air naik…!”
Seiring kehadiran gelombang itu, Mak Dek—berbadan gempal—berusaha menggendong ibunya yang tengah sakit.
Suami dan dua anaknya tidak ada di rumah.
“Mereka mau lihat rumah yang runtuh karena gempa,” ujarnya.
Di dalam masjid, dalam kondisi panik, dia bersama ibu dan sebagian tetangganya memilih sudut yang dianggapnya aman.
“Kami diblender, diputar [oleh gelombang air] di situ,” ungkap Mak Dek.
Kelak terungkap ada tujuh orang yang selamat di bangunan itu. Mereka berhasil naik ke lantai atas.
Namun tidak bagi ibu kandung Mak Dek.
“Mamak terlepas dari tangan…” Mak Dek tak bisa membendung tangisannya.
Dia terpisah dari ibunya, tangannya tak kuat memegang erat-erat badannya.
Ombak ganas membuatnya dan orang-orang lain di dalam masjid terbawa arus.
Dia tak pernah menemukan jasad ibunya, suaminya, dan dua anaknya sampai sekarang.